Teknologi Retting Embun, Efektif Hasilkan Serat Kenaf

Teknologi Retting Embun, Efektif Hasilkan Serat Kenaf
Foto : Teknologi Retting Embun Penghasil Serat Kenaf yang Efektif.

Pilarpertanian - Pemasalahan utama pengembangan tanaman kenaf adalah proses pascapanen untuk mendapatkan serat atau dikenal dengan istilah retting. Proses retting secara konvensional melalui perendaman batang kenaf di lahan dengan banyak air masih menyisakan berbagai permasalahan. Untuk itu, Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) mengembangkan teknologi retting tanpa genangan yaitu retting embun atau dew retting.

Peneliti Balittas, Arini Hidayati Jamil mengatakan teknologi pascapanen tanaman kenaf sangat penting dilakukan untuk menghasilkan produk utama berupa serat kenaf. Tanaman kenaf dipanen pada umur 90-120 hari setelah tanam (Hst) yaitu setelah 50% populasi tanaman telah berbunga. Waktu berbunga tanaman kenaf ini dipengaruhi oleh panjang hari dan karakter varietas.

“Jika ditanam pada waktu yang tepat dan tumbuh pada waktu hari panjang akan menghasilkan rendemen yang optimal dan kualitas serat yang maksimal. Namun, apabila panen terlalu cepat atau terlambat, rendemennya yang dihasilkan tidak optimal dan mutu seratnya kurang baik,” terang Arini saat menjadi pembicara dalam Webinar Serat Alam bertema Back to Natural Fiber: Kenaf for a Better Life & Sustainable yang digelar Balittas pada Selasa (30/6/2020).

Lebih lanjut Arini menerangkan, bahwa serat kenaf berada di kulit batang tanaman kenaf. Teknologi untuk mendapatkan serat kenaf dikenal dengan istilah retting. Retting merupakan proses degradasi komponen-komponen yang melekatkan serat-serat selulosa yaitu pectin, hemiselulosa, lignin, dan pengotor lain tanpa merusak serat selulosa. Proses ektrasi serat dalam kulit batang tanaman juga dilakukan pada rosela, rami, linum, bambu dan tanaman serat lainnya.

Proses retting yang eksisting dilakukan saat ini adalah retting secara konvensional dengan cara merendam batang kenaf yang telah dipanen ke dalam kolam berisi air yang sangat banyak. Metode ini, menurut Arini berkembang di lahan banjir atau lahan bonorowo di Lamongan, Jawa Timur. “Proses ini mengandalkan mikroba yang terbawa pada kulit batang kenaf maupun mikroba-mikroba di dalam air,” lanjutnya.

Retting secara konvensional ini memiliki beberapa kelebihan yaitu efektivitasnya tinggi dan kualitas seratnya cukup baik. Namun metode ini hanya efisien dilakukan di lahan banjir/bonorowo. Metode ini juga memiliki banyak kelemahan yaitu memerlukan air dalam jumlah sangat banyak. Proses degradasi bagian tanaman juga tidak terkendali menyebabkan penurunan kualitas serat pada beberapa bagian.

“Karena prosesnya di bawah permukaan air maka terjadi proses anaerob mikroba-mikroba di dalam air yang menimbulkan bau busuk, emisi metana, dan pencemaran air limbah ke lingkungan. Kondisi lingkungan seperti itu tidak nyaman bagi pekerja,” terangnya.

Karena itu, peneliti Balittas telah mengembangkan teknologi retting tanpa genangan yaitu retting embun atau dew retting. Teknologi retting embun ini dikembangkan tim peneliti Balittas sejak 2012 dengan menggunakan jasa mikroorganisme berupa jamur dan bakteri yang dapat mendegradasi pectin, hemiselulosa, dan lignin.

Teknologi ini menggunakan jasa mikroorganisme selektif yang berfungsi mendegradasi komponen-komponen yang mengikat serat sehingga proses fermentasi ini dapat menghasilkan serat. “Proses ini tidak memerlukan air yang banyak untuk perendaman batang kenaf, hanya memerlukan kondisi yang tepat untuk mikroba-mikroba bekeja dengan baik,” terang Arini.

Teknologi retting embun ini memiliki banyak kelebihan antara lain menggunakan mikroorganisme selektif pendegradasi pectin, lignin, dan hemiselulosa sehingga mengurangi terjadinya kemungkinan degradasi selulosa. Metode ini dapat diterapkan di wilayah pengembangan kenaf yang potensial tanpa tergantung ketersediaan air untuk proses retting. Selain itu, metode ini tidak mencemari lingkungan.

“Aplikasi mikroba ini diformulasikan dengan menambahkan bahan-bahan tertentu untuk meningkatkan efektivitasnya. Formula ini nantinya dapat dipatenkan dan diproduksi massal,” paparnya.

Arini menambahkan, metode ini masih memerlukan rangkaian proses penelitian yang panjang mulai dari waktu, fasilitas dan kompetensi sumber daya manusia. Tahapan-tahapan yang perlu dilakukan diantaranya eksplorasi, isolasi, uji efektivitas mikroorganisme, formulasi, pengujian formulasi hingga aplikasi di lapangan.

Terpisah, Kepala Balitbangtan, Fadjry Djufry menambahkan, untuk pengembangan formulasi retting embun ini, Balitbangtan telah bekerjasama dengan Pusat Penelitian Biologi dan Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) khususnya dalam pembuatan formulasi retting yang efektif.

Menurut Fadjry, penelitian kerjasama baik antar lembaga ataupun Perguruan Tinggi bertujuan untuk memfasilitasi penelitian-penelitian yang bersifat strategis yang dilakukan secara sinergi antara peneliti di Perguruan Tinggi dan lembaga Negara. “Khususnya yang substansi penelitiannya dapat memberikan sumbangan langsung terhadap persoalan utama bangsa, negara dan masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi institusi tempat masing-masing peneliti bernaung.” Pungkasnya.(RS)

Redaksi dan Informasi pemasangan iklan