Genjot Produksi, Kementan Bersama Stakeholder Pertanian Atasi Dampak Perubahan Iklim
Pilarpertanian - Kementerian Pertanian (Kementan) bersama stakeholder pertanian bersinergi mengatasi dampak perubahan iklim guna menggenjot produksi tanaman pangan, khusus padi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Perubahan pola curah hujan serta kenaikan suhu udara berpengaruh secara signifikan pada penurunan produksi pertanian, sehingga upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim gencar dilakukan untuk menjaga produksi pangan.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi mengaku optimis dalam mengatasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian. Pasalnya, Kementan memiliki pengalaman dalam melewati El Nino ekstrem pada tahun 2015 dengan kenaikan suhu di atas permukaan laut naik 2,9 °C.
“Waktu itu petani-petani kita mulai adaptif menghadapi kondisi kekeringan tersebut dengan penggunaan benih tahan kekeringan, budidaya hemat air, kejar tanam dan pompanisasi,” ungkap Suwandi dalam Bimtek Propaktani Episode 1035 berjudul “Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Pada Tanaman Pangan, di Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Suwandi menuturkan, Indonesia saat ini tahun 2023 kembali mengalami El Nino dengan kenaikan suhu di atas permukaan laut menurut NOAA dan BMKG naik secara moderat sekitar 1,5 °C dengan puncak El Nino telah terlewati pada Agustus dan September lalu dengan Oktober sudah mulai melandai. Upaya-upaya mengatasi dampak El Nino terhadap produksi pangan pun telah dilakukan antara lain dengan melakukan mapping / pemetaan.
“Pada wilayah-wilayah yang masih masuk kategori hijau kita lakukan percepatan tanam dan meningkatkan indeks pertanaman. Sedangkan daerah-daerah kategori kuning kita bantu dengan booster suplai air baik melalui sumur, pompa-pompa dan embung. Kami juga mendorong petani-petani untuk memanfaatkan Asuransi Usaha Tani atau KUR untuk meminimalisir resiko gagal panen,” jelasnya.
“Sesuai arahan Menteri Pertanian Amran Sulaiman agar fokus peningkatan produksi salah satunya komoditas padi, produktivitas dan kualitas hasil guna mensejahterakan petani,” pinta Suwandi.
Sebagai informasi KSA BPS bahwa luas panen padi tahun 2023 diperkirakan 10,20 juta hektar dengan produksi 53,63 juta ton GKG atau setara 30,90 juta ton beras.
Bersamaan, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo Muljadi D. Mario mengatakan Provinsi Gorontalo adalah daerah yang terkena dampak El Nino, luas pertanaman padi yang terkena dampak perubahan iklim di Provinsi Gorontalo mencapai 591,4 Ha dan jagung seluas 12.103,1 Ha. Adapun upaya antisipasi dan adaptasi El Nino dalam rangka menjaga produksi pangan di Gorontalo antara lain identifikasi dan mapping lokasi terdampak kekeringan, program 1.000 Ha percepatan tanam (padi, jagung dan kedelai) di masing-masing kabupaten dan peningkatan ketersediaan air melalui embung, sumur, pompanisasi dan lain sebagainya.
“Upaya yang dilakukan dengan menyediakan asuransi usaha tani 4.250 hektar (subsidi pemerintah) dan program penggantian benih bila terjadi puso akibat banjir dan kekeringan,” sebut Muljadi.
Sementara itu, Akademisi IPB, Prof. Yonny Koesmaryono menjelaskan dalam melakukan upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim seperti kekeringan, diperlukan sinergi dari setiap stakeholder yang terlibat, diantaranya penanaman varietas tahan kekeringan (penyuluh dalam pengusulannya dan dinas dalam penyediaannya). Kemudian perbaikan drainase, optimalisasi infrastruktur, teknologi hemat air (pengusulan sesuai kondisi wilayah oleh poktan/penyuluh yang diakomodir dinas).
“Penting juga melakukan monitoring dan pelaporan perkembangan luas serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) atau DPI (Dampak Perubahan Iklim), gerakan pengendalian OPT atau penanganan DPI dan mengoptimalkan Brigade Perlindungan Tanaman dan optimalisasi Asuransi Usaha Tani utamanya bagi wilayah rawan kekeringan,” ujar Prof. Yonny.
Prof. Johannes E.X. Rogi yang merupakan Koordinator Prodi Magister Agronomi PPS Universitas Sam Ratulangi Manado menjelaskan cara mengatasi dampak perubahan iklim melalui Climate Smart Agriculture (CSA). CSA atau pertanian cerdas iklim merupakan sebuah pendekatan yang mentransformasikan dan mengorientasikan ulang sistem produksi pertanian dan rantai nilai pangan.
“Hal ini untuk membantu orang-orang yang mengelola sistem pertanian dalam merespon perubahan iklim,” tuturnya.(BB)