Menghadapi El Nino: Keberpihakan Pada Produksi Jagung Nasional
Pilarpertanian - Ditengah isu El Nino, petani harus berhadapan pada risiko kegagalan produksi. Situasi ini tidak membuat petani jagung mengeluh, mereka tetap bersemangat melakukan upaya produksi.
Dinamika pemenuhan kebutuhan nasional harus dilihat secara komprehensif. Oleh karena itu, salah satu pelaku usaha jagung, Dean Novel mengatakan kolaborasi itu harus digerakkan pada data lapangan.
“Saat ini, jika impor terjadi harga jagung lokal pasti anjlok, dan banyak petani yang akan merugi karena ongkos produksi memang sudah naik sejak tahun lalu” ucap Dean Novel, pelaku Pertanian Jagung dan Anggota Presidium Agri Watch. Dean menambahkan, pemicu utama kenaikan harga jagung di tingkat petani adalah aksi peternak yang memborong langsung ke sentra-sentra jagung sehingga membuat harga ikut terkerek naik, selain harga BBM dan biaya angkut, benih jagung premium, harga pupuk NPK dan Urea juga ditenggarai faktor pemicu utama.
“Kita juga harus memaklumi jika ada penyesuaian harga, jika tidak petani kita kasian donk rugi” ungkap Dean. Untuk diketahui saat ini harga ditingkat petani berkisar Rp. 5.100 – 5.200 / Kg (pipil kering) naik sekitar Rp. 100 – 200 dari tahun sebelumnya.
Menanggapi kutipan sebuah media online yang menyatakan harga jagung internasional lebih murah, Dean menanggapi bahwa hal itu keliru. “Itukan harga Rp. 2.944,7/kg yang dicantumkan harga perdagangan CBOT (Chicago Board of Trade), belum ada ongkos shipping ship, taxes import, keuntungan, dan lain-lain”. ungkapnya.
Dean pun mengungkap jika harga luar negeri lebih murah mengapa negara tetangga seperti Malaysia dan Fillipina malah berminat membeli jagung dari Indonesia tidak di luar negeri. “Saat ini kedua negara tersebut masih terus mencari stok jagung di kita, tetapi kita memilih tidak lakukan ekspor, sampai dalam negeri terpenuhi terlebih dahulu”.
Dan beredar isu ada oknum peternak yang meminta keran impor dibuka, Dean memastikan itu tidak mewakili suara para peternak. “Saya sering turun ke lapangan peternak dan petani jagung bisa berdampingan tidak pernah kekurangan stok, hanya memang harga naik.
Dean mencurigai ada pihak-pihak yang memang sengaja menghembuskan isu kelangkaan stok untuk kepentingan tertentu.
Untuk mengatasi permasalahan kenaikan harga, Dean menyarankan untuk para kelompok peternak menyiapkan Resi Gudang, ini bisa menjadi solusi saat harga jagung turun bisa memborong dan menyimpannya sebagai buffer stok. “Yang saya sering liat peternak membeli jagung hanya dengan kuantitas kecil karena tidak ada tempat menyimpannya”.
Permasalahan peternak ini kan di pembeliannya, rata-rata membeli dalam kuantitas yang kecil tapi rutin, untuk itu peternak bisa berkoloborasi dan tidak sendiri-sendiri.
Dari segi regulasi juga pemerintah bisa meniru cara negara maju seperti Amerika untuk melindungi para petaninya, dengan memastikan penjualan produknya.
Model pola tanam pun harus diubah, selama ini pola tanam kita sudah tidak relevan, karena pupuk subsidi tidak lagi diberikan seperti era Presiden Suharto. Saat ini yang harus kita gunakan pola pertanian berkelanjutan dan diatur seperti cluster sehingga tidak ada lagi bulan paceklik, dan panen terus secara bergantian untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Dean yakin ini akan menjadi win-win solution bagi semua pihak dan menuntaskan permasalahan yang ada antara petani, peternak, stakeholder dan masyarakat.(ND)