Pahlawan Pangan

Pahlawan Pangan
Foto : Dosen Universitas Trilogi Jakarta, Muhamad Karim.

Pilarpertanian - Hari ini 10 November 2021, Kita memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan tidak sembarangan. Ada peristiwa heroik yang menyertainya. Tepatnya kejadian 10 November 1945 di Kota Surabaya.

Para pejuang bersatu padu mengusir penjajah Inggris dan Belanda. Mereka bertempur tanpa takut dan banyak kehilangan korban jiwa. Demi mempertahankan Kemerdekaan yang di Proklamasikan 17 Agustus 1945.

Di era kekinian Pahlawan lahir dari prestasi beragam profesi. Mulai dari olahraga, pegiat sosial, pendidik kreatif, hingga petani dan nelayan. Di sini saya mengulas soal petani dan nelayan. Mereka adalah pahlawan pangan. Petani menyediakan pangan karbohidrat dan protein daging. Nelayan menyediakan pangan protein ikan.

Mereka beraktivitas budi daya pertanian tak pernah diperintah oleh siapa pun. Alamlah yang menjadi faktor pembatas aktivitas mereka. Di kala musim tanam sudah tiba. Petani menanam tanamannya. Padi, jagung, kedelai, dan sayuran. Begitu pun nelayan. Di kala ombak reda, angin bersahabat dan musim ikan melimpah. Mereka melaut. Mereka pun tak pernah diperintah oleh siapa pun.

Kini bangsa ini mengalami krisis petani muda. Data BPS 2019 lalu merilis bahwa jumlah petani kita 33,4 juta. Ironisnya, petani muda berusia 20-39 tahun hanya 2,7 juta (8%). Sisanya, sekitar 30,4 juta (92 persen) berusia di atas 40 tahun. Mereka mayoritas berusia 50-60 tahun. Kurun waktu 2017-2018, jumlah petani muda sebesar 415.789 orang. Amat memprihatinkan, bangsa ini mengalami krisis regenerasi petani muda. Padahal Data BPS (2020) mencatat bahwa sumber penghasilan utama dari sejumlah jumlah rumah tangga tergolong miskin di negeri ini sebagian besar bersumber dari sektor pertanian. Nilainya hingga 46,30 persen tak berbeda jauh dengan nelayan.

Hasil survei BPS 2003-2013 tercatat jumlah nelayan tradisional turun dari 1,6 juta menjadi 864 ribu rumah tangga. Justru, nelayan budi daya meningkat 985 ribu menjadi 1,2 juta rumah tangga.

Bahkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat jumlah nelayan tahun 2019 tinggal 2,2 juta. Padahal beberapa tahun silam 2,7 juta.
Apa mesti dilakukan? Kita sudah waktunya mendidik petani milenial. Mereka mesti dibekali kemampuan mumpuni soal cara bertani lebih modern berbasis teknologi. Begitu pula nelayan milenial.

Mesti diberi pengetahuan dan keterampilan memanfaatkan sumber daya perikanan tangkap dan budi daya darat maupun laut. Sudah tentu memanfaatkan teknologi terbaru. Profesi petani dan nelayan bukan lagi kumuh. Melainkan naik kelas. Kini baru Kementerian Pertanian dan Pemerintah Jawa Barat yang menggulirkan program petani milenial.

Mestinya pendidikan tinggi juga begitu. Ada prodi atau vokasi yang mendidik petani, pembudidaya ikan atau nelayan milenial. Perguruan tinggi memang wajib merevolusi kurikulum dan sistem pendidikan. Enyahkan aturan-aturan birokrasi yang memasung. Kalau mau maju harus berani merubah paradigma dan bertransformasi total.

Mereka nanti berkiprah dalam ragam profesi. Mulai dari pengiat market place, innovator teknologi, pelaku e-commerce, pembudidaya, penangkap ikan hingga pengolah. Di masa datang negara ini bakal berlimpah petani dan pelaku perikanan milenial. Di masa datang, bakal lahir pahlawan-pahlawan pangan baru dari kalangan milenial.

Mereka jadi penyelamat negara ini dari krisis pangan, ancaman kelaparan hingga dampaknya yang timbul akibat perubahan iklim global. Selamat Hari Pahlawan 10 November 2021.(ND)

Redaksi dan Informasi pemasangan iklan