Varietas Padi Hibrida Responsif di Lahan Pasang Surut Kalimantan Tengah
Pilarpertanian - Pilar – Upaya mencapai ketahanan pangan di Kalimantan Tengah (Kalteng) terus digenjot, dengan melakukan pendekatan pembangunan pertanian yang berbasis pada kawasan, sehingga lumbung-lumbung produksi pangan dapat terkonsentrasi dengan baik, diantaranya dengan mengalokasikan kawasan seluas 3.800 ha untuk pertanaman padi di kabupaten Pulang Pisau yang ditetapkan sebagai kawasan nasional pertanian tanaman pangan di Kalteng sesuai Permentan No.50 tahun 2012.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Menurut peneliti padi sekaligus penanggungjawab kegiatan pendampingan kawasan tanaman pangan BPTP Kalteng Dr. Susilawati, saat ini pihaknya sedang melakukan pembinaan dan pengawalan Demplot seluas 15 ha untuk penerapan teknologi budidaya padi hibrida lahan pasang surut pada Kelompoktani Harapan Jaya di desa Gedabung Kecamatan Pandih Batu Kabupaten Pulang Pisau.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Terdapat beberapa varietas padi hibrida Balitbangtan yang diimplementasikan yaitu Hipa 8, Hipa 18 dan Hipa 19 pada hamparan seluas 400 ha. Respon petani sangat tinggi ketika melihat pertumbuhan dan tampilan padi hibrida yang dibudidayakan dengan sistem jajar legowo super dan penggunaan pupuk hayati. Hal ini dapat menekan penggunaan benih padi sebanyak 5 kg per hektarnya dan padi dapat tumbuh berkembang dengan baik serta responsif di lahan pasang surut.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Lebih lanjut dikatakan Susilawati “secara teoritis, padi hibrida punya keunggulan pada produktivitasnya, sekitar 20-30 persen lebih tinggi dibanding padi jenis lainnya, memiliki ketahanan terhadap hawar daun bakteri serta tahan wereng cokelat.”Namun sayang di beberapa wilayah yang sistem pertanian padinya sudah cukup baik dan modern, ternyata adopsi petani terhadap varietas-varietas hibrida ini cenderung masih rendah.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Menurutnya, penyebab lambatnya perluasan tanam hibrida tersebut lantaran harga benih yang masih relatif tinggi (sekitar Rp 125 ribu/kilogram) dan lebih banyak membutuhkan asupan pupuk dalam budidayanya. (DI)