Bapanas Keliru Memperkirakan Produksi Beras 2023 Akan Defisit, Ini Faktanya

Bapanas Keliru Memperkirakan Produksi Beras 2023 Akan Defisit, Ini Faktanya
Subkoordinator Data dan Informasi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Teuku Achmad Iqbal Mengatakan Bahwa Jangan Membuat Perkiraan dan Asumsi-Asumsi Kondisi Hingga Akhir 2023 Tanpa Melihat Tren dan Strategi Teknis Padi ke Depan.

Pilarpertanian - Panen raya padi tahun 2023 yang berlangsung hingga bulan April menghasilkan produksi gabah atau beras yang tinggi sehingga Indonesia akan mengalami surplus. Mengacu data Kerangka Sampling Area (KSA) BPS yang dirilis 1 Maret 2023, produksi beras pada Januari 2023 sebesar 1,33 juta ton, Februari 3,68 juta ton, Maret 5,27 juta ton dan April 3,51 juta ton.

“Kami sangat menyayangkan pihak Bapanas (Badan Pangan Nasional) menganalisa data asal-asalan, asal koar memperkirakan di tahun 2023 ini Indonesia akan mengalami defisit beras dan menggiring untuk impor,” demikian dikatakan Subkoordinator Data dan Informasi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Teuku Achmad Iqbal di Jakarta, Sabtu (4/3/2023).

Ia mengungkapkan, data KSA BPS mencatat produksi beras Januari-April 2023 sebesar 13,79 juta ton, naik 0,56 persen dibanding periode yang sama 2022. Tak hanya di periode ini, produksi beras pada Mei sampai Desember 2023 pun diperkirakan cukup tinggi dengan mengacu tren produksi beras di tahun-tahun sebelumnya, misalnya 2022.

“Pada Mei 2022, produksi beras sebesar 2,38 juta ton, Juni 2,51 juta ton, Juli 2,71 juta ton, Agustus 2,35 juta ton, September 2,50 juta ton, Oktober 2,38 juta ton, November 1,88 juta ton dan Desember 1,11 juta ton. Tentunya produksi beras tahun 2023 pada periode ini mengalami produksi yang tidak jauh berbeda. Apalagi upaya yang dilakukan saat ini dengan cara yang lebih modern dan maju sehingga produksi diperkirakan naik,” ungkapnya.

“Sehingga, janganlah membuat perkiraan dan asumsi-asumsi kondisi hingga akhir 2023 tanpa melihat tren dan strategi teknis padi ke depan. Kini petani sedang bekerja keras di sawah mengejar produksi dengan berbagai tantangan. Jangan diganggu dengan berbagai statement tidak produktif dan surat edaran kesepakatan harga gabah yang membuat resah dan menyengsarakan petani,” pinta Iqbal.

Lebih jauh Iqbal menekankan dalam melakukan analisa harus melihat unsur penting lainnya, salah satunya bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke, agroekosistemnya berbeda-beda. Di saat beberapa daerah belum musim panen, tapi di wilayah lain ada panen, sehingga faktanya setiap hari dan setiap bulan itu ada tanam dan ada panen.

“Bapanas sangat keliru dan gagal pikir dengan mengatakan dalam setahun ada 9 bulan defisit, buktinya saat panen raya itu surplusnya menutupi musim gadu. Dari satu bulan ke bulan berikutnya itu ada carry over beras, ada kumulatif surplus antar bulan dan dalam satu tahun itu ada surplus beras,” terangnya.

Melansir data BPS, lanjutnya, pada 2019 terjadi surplus beras 2,38 juta ton, 2020 surplus 2,13 juta ton, 2021 surplus 1,31 juta ton dan 2022 surplus 1,34 juta ton. Yang paling penting adalah tidak bisa dalam melakukan analisa itu dengan parsial data bulanan saja, namun harus komprehensif dalam setahun sehingga tidak melahirkan analisa yang menyesatkan bagi publik.

“Ingat dan supaya dipahami pengertian surplus defisit itu berbeda dengan stok, sehingga kita tidak gagal paham. Perlu dipahami juga bahwa produksi padi itu sebuah aliran bulanan. Bukan produksi hari ini, dipakai hari ini. Kebutuhan bulan sekarang dapat dipenuhi produksi bulan sebelumnya. Sehingga jangan merancukan pemahaman siklus produksi gabah, distribusi dan konsumsi beras. Kalau nggak paham, jangan asal ngomong apalagi di publik,” tandasnya.(PW)

Redaksi dan Informasi pemasangan iklan