Harga Telur Ditingkat Peternak Stabil, Produksi Surplus, Pinsar : Kalo Begitu, Siapa Yang Bermain

Pilarpertanian - Di tengah isu kenaikan harga telur di sejumlah daerah, para peternak menegaskan bahwa tidak ada kenaikan harga di tingkat peternak. Harga telur ditingkat peternak saat ini tetap stabil di angka Rp24.000 – Rp26.500 per kilogram, sesuai harga acuan pemerintah. Bahkan produksi nasional berada dalam kondisi surplus sehingga tidak ada alasan pasokan menjadi penyebab kenaikan di pasar.
Ketua Presidium Pinsar Petelur Nasional, Yudianto Yosgiarso, menyampaikan bahwa seluruh peternak ayam petelur di Indonesia masih menjual telur pada harga stabil dan berada di bawah batas acuan.
“Saat ini kami menjual dalam koridor Kisman Rp24.000–Rp26.500. Tidak pernah naik. Jadi kalau harga di pasar melonjak, ya pertanyaannya, siapa yang bermain?,” kata Yudianto usai menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Stabilisasi Harga Telur Ayam Ras di Kantor Pusat Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Rabu(19/11/25).
Yudianto menambahkan bahwa stabilnya harga telur tidak terlepas dari perhatian dan kebijakan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman. Bantuan SPHP jagung sejak Oktober disebut sangat membantu peternak menekan biaya pakan komponen terbesar dalam produksi telur.
“Pak Menteri hadir ketika kami kesulitan. SPHP jagung sangat membantu dan kami berharap berlanjut untuk menjaga stabilitas di Desember dan Januari,” tambahnya.
Lebih lanjut, Yudianto mengatakan bahwa produksi telur nasional berada pada kisaran 6,4 hingga 6,5 juta ton dan produksi ini masih surplus. Untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG), peternak diminta meningkatkan produksi hingga 700 ribu ton secara bertahap dan mereka siap memenuhinya.
“Produksi aman, surplus ada. Tidak ada kekhawatiran pasokan. Kami siap mendukung program nasional,” kata Yudianto.
Bersamaan, Ketua Koperasi Berkah Telur Blitar, Yesi memperkuat pernyataan Pinsar. Menurutnya, lonjakan harga di pasar jauh berbeda dengan harga di peternak, dan itu terjadi bukan karena peternak. Harga telur di tingkat peternak Blitar juga berada di kisaran harga Rp24.000 – Rp26.500, namun sayangnya di pasar bisa menyentuh Rp35.000.
“Kami tidak pernah menjual di harga tinggi. Jadi kalau di pasar sampai Rp35.000, itu bukan dari kami. Ada middleman yang memainkan. Kami juga tidak punya kedaulatan menaikkan harga, kami patuh dengan pemerintah,” kata Yesi.
Yesi mengatakan bahwa hingga saat ini lebih dari 95 persen telur peternak masih didistribusikan melalui middleman, sehingga peternak berada di posisi pasrah mengikuti harga yang ditentukan rantai perantara.
“Kami selalu dituduh penyumbang inflasi. Padahal harga di kandang rendah. Yang harus diawasi itu middleman. Margin mereka kadang tidak wajar, itu yang bikin harga sampai meledak di ujung,” ucap Yesi.
Yesi mengatakan bahwa hingga kini belum ada “wasit” yang mengawasi rantai middleman, sehingga ruang permainan harga masih sangat terbuka. Karena itu, ia meminta pemerintah yang berwenang di sektor perdagangan untuk memperketat pengawasan agar harga di tingkat konsumen tidak melonjak tajam dan peternak tidak terus-menerus menjadi pihak yang disalahkan, padahal produksi nasional dalam kondisi aman bahkan surplus.
“Kalau middleman mencari laba secara wajar, harga di end user tidak akan mahal. Tapi kalau ada satu saja rantai yang mengambil keuntungan tidak wajar, dampaknya membuat harga di konsumen melambung. Ini yang selalu kami minta untuk dipantau, dikendalikan, mohon perdagangan juga mengawasi,” kata Yesi.
Bersamaan, Mentan Amran menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada seluruh peternak dan pengusaha telur.
“Alhamdulillah hari ini kita rapat Pinsar seluruh Indonesia dan mengambil keputusan strategis. Saya bangga pada para pengusaha telur besar, menengah, kecil semua kompak mengikuti arahan pemerintah. Tidak perlu tanda tangan, semua sepakat,” kata Mentan Amran.
Mentan Amran menegaskan bahwa kenaikan harga telur yang terjadi belakangan ini sebenarnya tidak signifikan dan kita akan tindak tegas jika ada yang mempermainkan harga di pasar. Ia memastikan kondisi tersebut bersifat sementara dan berpotensi akan segera terkoreksi.
“Kenaikannya hanya sedikit, dan dalam waktu dekat Insya Allah akan turun. Apalagi harga DOC sudah turun signifikan dari 14.000 menjadi Rp11.500,” tukas Mentan Amran.(ND)