Sekarang Sulit Bedakan Mana Pengamat dan Mana Mafia Beras

Sekarang Sulit Bedakan Mana Pengamat dan Mana Mafia Beras
Redaksi dan Informasi pemasangan iklan Hubungi: Admin Pilarpertanian

Pilarpertanian - Pilar – Pengamat Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mengatakan, saat ini sulit membedakan pengamat pertanian yang benar-benar murni memajukan pertanian dengan pengamat yang bermuatan titipan dari pelaku usaha impor atau pemburu rente. Ini terlihat dari beberapa pengamat yang menganjurkan impor beras di tengah Indonesia surplus beras 2,85 juta ton tahun 2018 ini. Data surplus yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Menurutnya, kita harus berfikir jernih menyikapi rilis data BPS surplus 2,85 juta ton beras saat ini. Jangan gegabah menanggapi pengamat dari INDEF dan CIPS yang bilang stock tipis sehingga perlu impor, kok dangkal sekali,” kata pria yang akrab disapa Gandhi di Bogor, Selasa (30/10/2018).
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Dia menjelaskan stok beras nasional tidak hanya dari surplus 2,85 juta ton, tetapi juga dari hingga saat ini stok Bulog sebesar 2,4 juta ton. Stok ini tentunya cukup aman untuk pasok hingga 10 bulan ke depan. Bahkan jika mengacu Survei Kajian Cadangan Beras (SKCB) 2015 yang dilakukan BPS, menyebutkan di tanggal 31 Maret 2015 terdapat stock beras 7,97 juta ton, lalu 31 Juni stock 10,02 juta ton dan 30 September 2015 stock 8,85 juta ton.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Dengan begitu, sambungnya, stok sangat tinggi berkisar 7,9 hingga 10 juta ton. Bahkan beberapa kali Sucofindo survei sejak 2007 hingga 2012, stock beras berkisar 6 hingga 9 juta ton beras.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Jadi, stock beras cukup. Tidak perlu impor. Jangan sampai pengamat berstatement karena ada pesanan dari mafia. Ini namanya mengkhianati petani dan negara. Tidak cinta tanah air,” jelasnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Ini sekarang memang sulit membedakan antara pengamat murni dengan pro impor. Pengamat pro impor biasanya berdalih data, kondisi harga, dan faktor lain sehingga menganjurkan impor yang sejatinya akan menyengsarakan rakyat dan petani”, tambahnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Gandhi menyebutkan pengamat murni tanpa kepentingan itu tentunya menganjurkan ekspor guna meraih devisa dan mensejahterakan rakyat. Sebab sangat memahami betul bahwa impor hanya dinikmati segelintir orang yang diragukan merah putihnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Coba tengok dan perhatikan data stock beras hasil survei BPS tahun 2015, menyatakan terdapat stock tersebar di rumahtangga, penggilingan, pedagang, hotel, restoran, katering, gudang dan di BULOG itu berkisar 8 hingga 10 juta ton. Ini juga data survei BPS sebagai pembanding dalam analisis, cadangan beras cukup,” ungkapnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Oleh karena itu, Gandhi juga meminta para pengamat jangan manas-manasin kondisi beras yang saat ini sudah aman dan stabil. Sebaiknya, memberikan gagasan atau terobosan dalam meningkatkan produksi dan ekspor sehingga minat petani semakin meningkat dalam menghasilkan pangan yang berkualitas.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Buktinya ekspor pertanian Indonesia Rp 441 triliun naik 24 persen dibanding 2013, tak terbantahkan bahwa pertanian kita kuat dan berdaya saing, ujarnya
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Jangan membuat keruh pada air yang tenang. Cek wilayah Sumatera dan Kalimantan serta sebagian Jawa Barat sudah turun hujan artinya tanam padi tinggi dan Januari 2019 akan di panen,” ujarnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Berdasarkan data BMKG pada bulan November 2018 hujan sudah mulai merata. Artinya, sebut Gandi, musim tanam sangat luas dan akan panen raya dimulai pada akhir Januari hingga April 2019. “Dengan demikian akan ada penambahan stok beras lebih banyak lagi,” ujarnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Gandhi pun menegaskan dulu alasan perlu impor karena harga tinggi, sekarang sudah impor beras sehingga pasokan banyak, stok gudang Bulog penuh bahkan hingga sewa gudang 500 ribu ton. Kemudian, stok beras PIBC naik 2 kali lipat, namun aneh bin ajaib harga tetap tinggi, malah naik Rp 500 per kg.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Tahukah anda, ini artinya ada mafia bermain. Buktinya banyak kasus dan hingga kini sudah 409 tersangka diproses oleh Satgas Polri,” tegasnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Pengamat pro impor mesti bertanggung jawab dunia dan akhirat atas statemennya menganjurkan impor. Amal jariah dipertanggungjawabkan di akhirat, begitu juga dosa jariah penganjur impor dipertanggungjawabkan di akhirat kelak,” sambung dia.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Sementara itu, Ketua PBNU sekaligus Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) Mochammad Maksum Machfoedz mengatakan situasi produksi cenderung surplus dan besaran konsumsi rutin normal, namun di lapangan justru harga beras melonjak.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Ini ada semacam tekanan politik yang dibuat agar impor beras dilakukan. Ada yang memanfaatkan situasi. Jangan sampai negara kalah dengan para pemburu rente. Harus bisa ditangkap dan diberi sanksi,” katanya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Sebelumnya Khudori, pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengatakan tingginya disparitas harga beras picu impor. Importir menghembuskan gejolak harga beras dalam negeri dan sejumlah faktor lain turut memicu gejolak harga tiap tahunnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Penyelundupan beras untuk memanfaatkan disparitas harga masih terjadi dan ditemukan kasusnya di Batam, namun volumenya kini tidak signifikan.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Disparitas harga ini perlu dihilangkan untuk meminimalkan peluang penyalahgunaan pihak tertentu,” katanya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Perlu diketahui juga, beberapa pihak waktu kemarin, seperti pengamat Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti surplus yang tipis sehingga perlu impor beras pada awal 2019. Hal ini diperkuat dengan temannya di Indef Rusli Abdullah yang mengatakan perlu pembenahan tata niaga dan mendata titik titik stock.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Hal yang sama pengamat Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilham juga mengatakan perlunya impor beras pada awal 2019.(RS)

Redaksi dan Informasi pemasangan iklan